Rabu, 30 November 2011

PERILAKU KEKUASAAN MENENTUKAN KUAT-LEMAHNYA KPK

Jika kekuasaan bersih, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasti kuat dengan sendirinya. Sebaliknya, kalau penuh noda korupsi, kekuasaan akan memperlemah KPK dengan kekuatan dan kewenangannya.

Sangat mudah untuk dimengerti bahwa konsistensi atau kuat-lemahnya KPK hanya bergantung pada satu faktor, yakni perilaku kekuasaan itu sendiri.

Kekuasaan yang bersih sudah pasti membutuhkan KPK yang kuat, konsisten dan independen. Sebab, kekuasaan akan diuntungkan oleh produktivitas KPK memerangi perilaku korup penyelengara pemerintahan, baik di pusat maupun daerah.

Minimal, kemampuan KPK mencegah pencurian uang negara serta menyergap para tersangka koruptor akan ikut memperkuat citra pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Apa jadinya kalau kekuasaan itu sendiri kotor akibat noda korupsi di semua lini kewenangan?.

Sudah pasti kekuasaan itu akan gelisah, takut pada bayang-bayang dan mencari ragam cara untuk membangun rasa aman saat terkini maupun di kemudian hari.

Kalau kekuasaan itu menggenggam wewenang kontrol atas semua institusi penegak hukum, cara paling "instan" adalah memreteli kewenangan penegak hukum, termasuk KPK tentu saja.

Proses memreteli kewenangan penegak hukum itu tentu saja tidak dituangkan melalui kebijakan terbuka. Dilakukan melalui pengarahan (baca: permintaan atau instruksi) di ruang tertutup atau dengan cara "injak kaki" di lapangan oleh para calo (mafia hukum) yang bertindak atas nama kepentingan kekuasaan.

Sampai kita pada pertanyaan bersama; apakah kekuasaan di negara ini, saat ini, bersih?
Mereka yang pro kekuasaan pasti punya versi jawaban sendiri. Sebaliknya, mereka yang kritis pun punya versi lain.

Untuk menyegarkan ingatan, semua komponan masyarakat sebaiknya tidak lupa bahwa penguasa saat ini masih berutang penyelesaian kasus Bank Century, kasus mafia pajak, dugaan suap pembangunan wisma atlet, proyek Hambalang, hingga kasus surat palsu Mahkamah Konstitusi (MK).

Baik-buruknya perilaku kekuasaan bisa diamati dari penyikapan terhadap kasus Bank Century, kasus mafia pajak dan kasus cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior ((DGS) Bank Indonesia (BI).

Baik-buruknya perilaku kekuasaan itu tentu saja mempengaruhi kemauan dan kesungguhan KPK memproses tiga kasus itu. Pengaruh yang sama menghinggapi institusi penegak hukum lain ketika memproses kasus pemalsuan surat MK. Menyikapi empat kasus ini, baik kekuasaan maupun institusi penegak hukum tampak jelas sangat minimalis.

Padahal, kasus Bank Century maupun kasus mafia pajak sangat strategis untuk dituntaskan. Selain menyangkut pertanggungjawaban penggunaan uang negara oleh ototitas fiskal dan otoritas moneter dalam menyelamatkan Bank Century, kasus ini adalah megaskandal yang bisa berdampak sangat serius bagi bobot dan kualitas kepercayaan publik terhadap industri perbankan nasional.

Sulit dimengerti jika kekuasaan berperilaku minimalis dengan menunjukkan kepedulian yang minim terhadap proses hukum kasus ini. Keputusan Rapat Paripurna DPR tentang proses hukum skandal ini bahkan nyaris tidak dihiraukan.

Apalagi menyikapi kasus mafia pajak. Perilaku kekuasaan cenderung menyederhanakan kejahatan ini. Proses hukumnya dilokalisir pada para pelaku di lapangan yang sesungguhnya tidak berani melakukan penggelapan pajak jika tidak mendapat restu dari atasannya.

Kejahatan ini merugikan negara dalam bilangan puluhan hingga ratusan triliun rupiah. DPR telah berinisiatif mengungkap jaringan mafia pajak, karena ada dugaan penggelapan pajak juga melibatkan perusahaan asing. Tetapi penguasa justru tidak menunjukkan minat berperang melawan mafia pajak.


Dominasi Kekuasaan
Jika peduli pada kepentingan bangsa dan negara, tanpa perlu didorong-dorong, kekuasaan mestinya mengerahkan KPK menggelar perang mengejar dan menyergap jaringan mafia pajak.

Menyedihkan karena jaringan mafia pajak tak pernah terungkap, karena baik KPK maupun penegak hukum lain hanya fokus pada seorang Gayus Tambunan.

Dalam kasus dugaan suap Wisma Atlet Sea Games Palembang dan proyek Hambalang, proses hukumnya memang tengah berjalan. Tapi proses hukum itu lebih terlihat sebagai upaya menghibur dahaga publik akan keadilan, karena dakwaan hanya dialamatkan kepada orang-orang yang secara politis lemah.

Seolah-olah keadilan telah ditegakkan. Tapi, rakyat tak mau lagi dibohongi. Rakyat masih menunggu langkah KPK selanjutnya setelah memeriksa menteri, anggota DPR dan pimpinan partai politik yang diduga terlibat dalam kasus dugaan suap Wisma Atlet Sea Games Palembang maupun proyek Hambalang.
Pimpinan KPK, belum lama ini, berjanji kepada publik bahwa akan diumumkan tersangka baru. Sudah berminggu-minggu sejak janji itu dikumandangkan, identitas tersangka baru itu belum juga diumumkan.

Perjuangan mantan Ketua KPK Antasari Azhar dan para kuasa hukumnya untuk bebas dari dakwaan terlibat pembunuhan berencana barangkali bisa member gambaran tambahan tentang perilaku kekuasaan menyikapi sepak terjang KPK.

Seandainya Antasari benar-benar hanya menjadi korban rekayasa kasus pembunuhan itu, kemenangannya tidak otomatis memulihkan independensi dan nyali KPK. Menurut persepsi publik, KPK tak lagi bernyali setelah Antasari dijadikan pesakitan. Dan, publik mahfum bahwa hanya kekuasaan dan kekuatan besar yang bisa mengubah status Ketua KPK menjadi pesakitan.

Selama kekuasaan yang korup masih ikut campur menentukan pimpinan KPK, tidak realistis mendambakan KPK yang kuat, bernyali dan independen. Kekuasaan di mana pun tidak membiarkan anak macan tumbuh menjadi kuat dengan taring sangat tajam. Sebab pembiaran seperti itu akan menghadirkan risiko sangat besar, karena berpotensi mencabik-cabik kekuasaan itu sendiri.

Demikianlah, kekuasaan di negara ini pun tak akan mau menempatkan sosok berkarakter macan untuk memimpin KPK.

Idealnya, menentukan pimpinan KPK tidak lagi melibatkan campur tangan kekuasaan. Karena KPK berstatusi institusi penegak hukum yang ad hoc, kepemimpinan KPK sebaiknya ditetapkan oleh kombinasi kewenangan antara institusi penegak hukum tertinggi, yakni Mahkamah Agung (MA) dengan pihak-pihak independen dari unsur publik yang terwadahkan dalam satuan kerja seperti panitia seleksi (Pansel) Calon pimpinan (Capim) KPK sekarang ini.

Wewenang pansel hendaknya diperluas, tidak lagi sebatas menyeleksi capim. Pembentukan dan ketua pansel pun sebaiknya tidak lagi oleh Kementerian Hukum dan HAM. Ada baiknya pansel dibentuk oleh DPR yang mewakili semua elemen masyarakat.

Pansel bersama MA kemudian melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) serta menetapkan formasi kepemimpinan KPK. Dengan proses seperti ini, intervensi kekuasaan dan kekuatan politik setidaknya bisa direduksi.

Dengan tahapan dan proses yang dipraktikan sekarang, peran kekuasaan dan kekuatan politik sangat dominan. Kemenkumham membentuk pansel. DPR melakukan pengujian dan format kepemimpinannya difinalkan oleh presiden.

Hasil kerja Pansel Capim KPK sekarang patut diapresiasi. Namun, delapan capim KPK dari pansel bukannya tanpa konsekuensi. Terjadi benturan kepentingan di DPR antara kubu yang memperjuangkan aspirasi kekuasaan versus kubu yang konsisten berupaya memulihkan kekuatan dan independensi KPK. Itulah inti persoalan yang sebenarnya. *Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golkar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar