Kamis, 01 Desember 2011

Bahaya HIV/AIDS

Penyakit menular HIV/AIDS meresahkanwarga masyarakat di provinsi Bali, terlebih di daerah yang mengalami kasus terjangkitnya HIV/AIDS terbanyak.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali dan Komisi Penanggulangan AIDS, Pulau Dewata merupakan daerah dengan urutan kelima terbanyak kasus HIV/AIDS tingkat nasional setelah Jawa Barat, Jawa Timur, Papua dan DKI Jakarta.
Selain dengan cara membangun klinik "Voluntary Counseling and Testing" (VCT) di rumah sakit dan puskesmas-puskesmas di Bali, Pemerintah Provinsi Bali juga berupaya menanggulangi penyakit menular tersebut dengan menyadarkan masyarakat akan pentingnya merangkul penderita HIV/AIDS agar tidak malu atau rendah diri.

Ketua Pokja Penanggulangan dan Pencegahan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali Prof Dr Mangku Karmaya, Kamis mengatakan, saat ini masyarakat umum masih memandang secara diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS, sehingga penderitanya pun masih takut untuk memeriksakan dirinya.

"Saat ini masih ada stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS, padahal cara-cara penularan penyakit ini juga bisa dikatakan tidak mudah," katanya.

Untuk mengurangi stigma masyarakat terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) ini, KPA Provinsi Bali juga telah melakukan advokasi pada November lalu, dan telah terealisasi di empat wilayah di Bali.

"Kami sudah melakukan advokasi ke Kabupaten Jembarana, Bangli, Klungkung dan Badung untuk mengajak pemerintah berperan aktif meyakinkan masyarakat yang belum paham dan mengkesampingkan penderita HIV/AIDS agar tidak di memusuhi, tetapi merangkul mereka," ujar Mangku Karmaya.

Ia juga berpesan agar masyarakat tidak perlu takut dengan orang yang menderita HIV/AIDS atau takut untuk memeriksakan diri ke klinik VCT yang sudah ada di puskesmas dan rumah sakit di Bali.

Dari hasil advokasi tersebut, kata Mangku Karmaya, Pemerintah Badung juga ingin mendorong agar warganya untuk menerapkan peraturan agar tidak mengucilkan penderita HIV/AIDS ke dalam "awig-awig" atau perangkat aturan adat yang mengatur warganya di tingkat desa adat dan banjar adat di Pulau Dewata.

Hingga September 2011 ini KPA Bali mencatat ada 4.833 kasus HIV dan AIDS, akibatnya ada 18 orang yang meninggal karena HIV, dan 381 orang meninggal karena AIDS," jelasnya.

Kasus tersebut pun didominasi oleh penderita berusia muda yakni 20 hingga 29 tahun dengan persentase 43,55 persen. Penyebab penyakit tersebut terbanyak dikarenakan akibat persoalan masyarakat yang heteroseksual sebanyak 73,93 persen.

"Sedangkan penyebab di urutan kedua yakni penggunaan narkotika atau narkoba suntik yakni sebanyak 10 persen," katanya.

Ketua Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Jro Gede Putus Suwena Upadesha mengatakan, sebagai lembaga yang menaungi seluruh desa adat di Bali, pihaknya sudah mengeluarkan surat resmi untuk seluruh desa adat agar segera menyusun awig-awig atau seperangkat peraturan adat Bali yang sifatnya mengikat agar tidak terjadi stigmatisasi dan diskriminasi terhadap para penderita HIV/AIDS.

"Selain mengirimkan surat resmi dalam berbagai pertemuan desa adat se-Bali, kami terus melakukan himbauan kepada seluruh warga Bali untuk tidak mendiskriminasi penderita HIV/AIDS. Mereka juga warga yang harus dihormati dan diayomi," ujarnya.

Himbauan dan surat resmi tersebut dikeluarkan berdasarkan pengalaman sebelumnya di sebuah desa di Bali dimana seorang penderita HIV/AIDS dilarang oleh warga desa untuk dikuburkan di "setra" (pekuburan) desa adat.
Bukan hanya itu, kata dia, memandikan jenazah oleh pihak keluarga pun dilarang oleh desa setempat. Kasus ini pernah terjadi pada Februari tahun 2009 dimana penderita AIDS yang meninggal dilarang membawa pulang ke desanya. Dan kasus ini banyak terjadi di sejumlah desa di Bali.

"Kasus-kasus semacam ini tidak boleh terjadi lagi. Karena itu perlu adanya awig-awig (peraturan adat) yang melarang hal tersebut," ujarnya.

Saat ini beberapa desa sudah memberlakukan "awig-awig" tersebut terutama di Desa Muncan, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali.

Jro Suwena juga menjelaskan, sampai saat ini belum ada laporan resmi berapa desa yang sudah memberlakukan "awig-awig" tersebut tetapi dari pantauan MUDP, sudah ada beberapa desa di Bali yang memberlakukan hal tersebut.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali Nyoman Sutedja mengatakan, saat ini klinik VCT sudah didirikan di beberapa wilayah di Bali.

"Klinik VCT merupakan salah satu bentuk pencegahan kasus AIDS yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Dulu VCT hanya ada di beberapa tempat, tetapi sekarang sudah mulai menyebar, namun belum semuanya terealisasi," ujarnya.

Saat ini, kata dia, klinik VCT tersebut masih diprioritaskan di beberapa titik penting di Bali seperti di pusat-pusat wisata, dan daerah yang mobilitas penduduknya tinggi.

"Seperti klinik VCT di puskesmas-puskesmas di kawasan pelabuhan, dan di kawasan Kuta juga sudah ada VCT," ujarnya.

Ia menjelaskan, program perluasan VCT di Bali tersebut sejauh ini secara keseluruhan masih terdapat 44 lokasi termasuk di seluruh rumah sakit di Bali.


Data AIDS di Indonesia

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Perlindungan Lingkungan Kementerian Kesehatan menyebutkan dari April sampai dengan Juni 2011 kasus AIDS baru dilaporkan adalah 2.001 kasus dari 59 kabupaten/kota di 19 provinsi di Indonesia.

Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah berbading 2:1. Begitu juga cara penularan kasus AIDS baru yang dilaporkan melalui heteroseksual sebanyak 76,3 persen, IDU (16,3 persen), perinatal (4,7 persen) dan LSL (2,2 persen).

Proporsi kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun sebanyak 36,4 persen, disusul kelompok umur 30-39 tahun (34,5 persen) dan kelompok umur 40-49 tahun (13,3 persen).

Jumlah total kasus baru HIV positif pada layanan VCT di triwulan dua tahun 2011 adalah 6.087 orang.

Sedangkan laporan hasil pelayanan pengobatan ODHA di Indonesia dimulai sejak tahun 2005 dengan jumlah yang masih dalam pengobatan ARV pada akhir 2005 sebanyak 2.381 (61 persen) dari yang pernah menerima ARV.

Sementara pda Juni 2011 terdapat 21.775 ODHA yang masih menerima ARV (55,7 persen) dari yang pernah menerima ARV.

Jumlah ODHA yang masih dalam pengobatan ARV tertinggi dilaporkan dari provinsi DKI Jakarta (8.331), Jawa Barat (2.542), Jawa Timur (2.072), Bali (1.379), Papua (1.116), Jawa Tengah (909), Sumatera Utara (850), Kalimantan Barat (582), Kepulauan Riau (580), dan Sulawesi Selatan (611).

Dengan langka seperti itu, maka kematian ODHA menurun dari 46 persen pada tahun 2006 menjadi 22 persen pada tahun 2010.

Sebanyak 79,7 persen ODHA masih menggunakan rejimen lini pertama, 16,7 persen telah substitusi (salah satu ARV nya diganti dengan obat ARV lain tapi masih pada kelompok lini pertama yang original) dan 3.8 persen switch (1 atau 2 jenis ARV-nya diganti dengan obat ARV lini kedua)
Sumber ANT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar