Sabtu, 03 Desember 2011

Populerkan Kondom untuk Mencegah HIV/AIDS

Kondom sebagai salah satu alat yang ampuh dalam mencegah penularan HIV/AIDS ternyata belum begitu populer penggunaannya terutama pada kelompok beresiko tinggi (risti) seperti sekitar tiga juta pria yang membeli seks di seluruh Indonesia.

Hal itu menjadi salah satu perhatian utama karena berdasarkan data dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) dan Kementerian Kesehatan, transmisi HIV tertinggi adalah lewat hubungan heteroseksual (76,3 persen), disusul oleh melalui penggunaan narkoba suntik tidak aman (16,3 persen) dan oleh hubungan secara homoseksual (2,2 persen).Perkiraan setiap tahun ada 3 juta orang membeli seks dan 60 persen sudah menikah. Kemudian jika ia bertobat, hanya melakukan hubungan seks dengan istrinya, maka ia akan menularkan HIV ke istrinya.

"Kementerian Kesehatan rutin melakukan surveilans terpadu AIDS dan perilaku. Ternyata meskipun sudah dibagikan kondom, penularan penyakit infeksi seksual masih tinggi," kata Sekretaris KPAN Nafsiah Mboi dalam rangkaian peringatan hari AIDS di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Tiap tahunnya, Hari AIDS Sedunia diperingati tiap tanggal 1 Desember dan untuk 2011 ini, Kementerian Kesehatan juga meluncurkan hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) yang dilakukan di 11 provinsi.

Dari STBP diketahui tingkat penggunaan kondom hanya sebesar 34 persen pada perempuan dan 14 persen pada laki-laki dan angka-angka tersebut dinilai mengkhawatirkan karena penggunaan kondom selain mencegah kehamilan tidak direncanakan juga efektif mencegah penularan penyakit seksual menular seperti HIV atau sifilis.

"Penderita sifilis meningkat lima kali lipat dari 2007-2011, dan penyakit ini bisa ditularkan ke bayi. Ini bahaya. Berarti memang pekerja seks dan pelanggannya meski sudah diberi kondom, tidak dipakai kondomnya," kata Nafsiah.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama memaparkan dari STBP 2011 ditemukan penggunaan kondom pada hubungan seks komersial cenderung naik sedikit dibandingkan 2007, kecuali di antara tukang ojek dan Penjaja Seks tidak langsung.

"Namun untuk semua kelompok, angka tidak melebihi 50 persen," kata Tjandra.
Selain penggunaan kondom yang rendah, tingkat pengetahuan masyarakat terhadap penularan HIV/AIDS juga belum memadai yang memicu Kemkes meluncurkan kampanye "Aku Bangga, Aku Tahu" (ABAT) yang dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS pada masyarakat.

"Kampanye ini terutama ditujukan bagi kelompok umur 15-24 tahun sebagai kelompok paling beresiko terinfeksi HIV dan dilakukan secara lintas sektor oleh Kemkes, Kemendagri, Kemenakertrans, Kemdikbud, BNN, KPA dan Pemda setempat," ujar Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih.

Kegiatan itu dilakukan di 100 kabupaten/kota di 10 provinsi di Indonesia yang memiliki angka prevalensi tinggi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Riau dan Sumatera Utara.


Usia Produktif
Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia diperkirakan sekitar 0,2 persen, atau sebanyak 186 ribu orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) pada 2010 dan diperkirakan bertambah sekitar 0,04 persen menjadi 0,24 persen atau sekitar 200 ribu orang pada 2011.

Sekitar 88 persen diantara ODHA merupakan mereka dalam golongan usia produktif (20-49 tahun) dan sebagian besar diantaranya memiliki pekerjaan sehingga perlindungan HIV/AIDS di dunia usaha menjadi fokus dari peringatan Hari AIDS Sedunia 2011 dari Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Dampak yang ditimbulkan karena HIV/AIDS memang sangat luas, tidak hanya pada orang yang terkena tetapi juga berdampak pada kondisi sosial, ekonomi dan psikologis bagi keluarga penderita dan juga pada masyarakat sekitar.

Beberapa dampak yang dapat langsung dirasakan karena HIV/AIDS di dunia kerja antara lain meningkatnya absen karena sakit, tingginya angka pergantian pekerja, berkurangnya pekerja yang terampil dan berpengalaman.

Juga munculnya konflik di tempat kerja yang menurunkan moral pekerja, timbul stigma dan diskriminasi terhadap pekerja dengan HIV/AIDS serta meningkatnya biaya perawatan kesehatan atau pengobatan dan lain-lain.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum Panitia Nasional Hari AIDS Sedunia (HAS) 2011 dalam puncak acara Hari AIDS Sedunia 2011 menegaskan bahwa pemerintah, pengusaha dan pekerja wajib bekerja sama melaksanakan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja.

"Semua pekerja, termasuk yang terkena HIV, berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang terjangkau, jaminan asuransi, perlindungan sosial dan berbagai paket asuransi kesehatan lainnya," kata Muhaimin.

Selain itu, dunia usaha juga diminta berpartisipasi aktif dan memberikan perlindungan kepada Pekerja dengan HIV/AIDS dari tindak dan perlakuan diskriminatif serta menerapkan prosedur Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) khusus untuk pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

"Upaya melindungi pekerja dan dunia usaha dari HIV dan AIDS wajib diterapkan sebagai salah satu bentuk program Keselamatan dan kesehatan Kerja (K3). Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas SDM dan menjamin kelangsungan usaha," ujar Muhaimin.

Secara khusus Peringatan HAS Tahun 2011 ini adalah untuk mengkampanyekan pentingnya penanggulangan HIV dan AIDS di dunia kerja sebagai bagian dari perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) mengingat bahwa lebih dari 88 persen para pengidap HIV dan AIDS adalah usia produktif, kata Muhaimin.

Kepala Subdirektorat Pengawasan Norma Kesehatan Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) Dedi Adi Gumelar mengatakan perusahaan wajib menjalankan Program Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS (P2-HIV/AIDS) di tempat kerja untuk mencegah dampak negatif (ekonomi dan sosial) dari HIV/AIDS.

"Diharapkan program ini dapat meningkatkan pemahaman pelaku dunia usaha, menciptakan hubungan industrial yang kondusif dari masalah HIV/AIDS dan memutus salah satu mata rantai penularan HIV," kata Dedi.

Dedi juga mengingatkan bahwa berdasarkan Kepmenakertrans No.68/2004 pasal 5, pengusaha atau pengurus dilarang melakukan tes HIV untuk digunakan sebagai prasyarat suatu proses rekrutmen atau kelanjutan status pekerja dengan kewajiban pemeriksaan rutin.

"Tes HIV hanya dapat dilakukan atas dasar sukarela dengan persetujuan tertulis dari pekerja/buruh dan apabila tes dilakukan pengusaha atau pengurus wajib menyediakan konseling kepada pekerja dan tes hanya dapat dilakukan oleh dokter terlatih," kata Dedi memaparkan isi lengkap pasal tersebut.

Dalam pasal 6 Kepmenakertrans yang sama, informasi yang diperoleh dari kegiatan konseling, tes HIV, pengobatan, perawatan dan kegiatan lainnya harus dijaga kerahasiaannya sebagaimana data rekam medis.

Di Indonesia, data dari Komisi Penanggulangan AIDS dan Kementerian Kesehatan pada triwulan kedua tahun 2011 terlaporkan sebanyak 6.087 kasus baru HIV.

Hingga akhir Juni 2011 secara kumulatif jumlah kasus AIDS tercatat sebanyak 26.483 kasus yang jika dilihat dari kelompok umur, pengidap terbesar pada kelompok umur 20-29, yaitu sebanyak 36,4 persen, disusul dengan kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 34,5 persen.


Epidemi HIV/Aids

Di samping itu Indonesia juga tergolong sebagai negara dengan epidemi HIV dan AIDS terkonsentrasi, di mana pada wilayah-wilayah tertentu, prevalensi populasi kunci sudah mencapai 5 persen atau lebih.

Bahkan Provinsi Papua tergolong sebagai daerah generalized epidemic dimana masyarakat umum pengidap HIV dan AIDS sudah lebih dari 1 persen.

Untuk mengatasi hal itu, Kementerian Kesehatan akan melakukan Penanganan penderita HIV/AIDS lebih awal sejak 2011 ini seperti yang tertuang dalam buku pedoman serta modul pemgendalian HIV/AIDS dan IMS yang diluncurkan pada peringatan Hari AIDS Sedunia.

"Sekarang kita pakai patokan angka CD4 350 sudah diberikan obat ARV (Anti retroviral), dulu obat diberikan jika angka CD4 menurun hingga 200. Jadi lebih awal dari sebelumnya," kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama.

Pada buku pedoman penanggulangan pasien sebelumnya, penderita HIV/AIDS baru akan diberikan obat ARV jika nilai CD4 nya mencapai angka 200 yang dinilai beberapa orang sudah terlambat sehingga dilakukan perubahan dalam buku pedoman penanggulangan pasien yang baru dimana penderita HIV/AIDS akan diberikan ARV jika CD4 nya menyentuh angka 350.

Nilai CD4 menunjukkan nilai imunitas/kekebalan/daya tahan tubuh yang diindikasikan oleh sel T dalam darah dimana jika nilai CD4 semakin kecil maka orang tersebut akan semakin beresiko terkena infeksi oportunistik.

Pada penderita HIV/AIDS, angka CD4 ini akan menurun terus jika tidak dilakukan penanganan medis dan akibatnya bisa berbahaya.

Tjandra mengakui perubahan kebijakan itu akan menimbulkan beberapa penyesuaian termasuk besar anggaran yang harus ditanggung pemerintah.

"Tentu ini memerlukan dampak logistik yang lebih besar, tapi sejauh ini pemerintah memberikan obat ARV kepada semua penderita AIDS yang memang memerlukan obat ARV," katanya.

Kemungkinan infeksi yang bisa dialami oleh ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) di Indonesia adalah tuberkulosis (TB), infeksi jamur, toksoplasma, cryptococosis, infeksi mata CMV dan ko-infeksi virus hepatitis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar