Sabtu, 03 Desember 2011

AIDS DAN DILEMA KEBENCIAN PADA "INDUSTRI SEKSUAL

Seorang ibu di Kota Denpasar terpaksa harus rela tinggal bersama buah hatinya di sebuah kandang hewan di areal kebun belakang rumah karena dirinya divonis mengidap HIV/AIDS.
Padahal sesungguhnya ibu ini sama sekali tidak pernah "jajan" di luar untuk memenuhi kebutuhan hasrat biologisnya.

Ia harus rela dikucilkan tidak hanya oleh warga masyarakat, tetapi juga harus mengalami pengucilan dari lingkungan keluarga sendiri.Seorang ibu yang terkena HIV/AIDS karena ditularkan oleh suaminya itu terpinggirkan hingga menghembuskan nafas terakhir akibat didera virus yang mematikan tersebut.

Tidak hanya itu, di daerah lain di Desa Nongan, Kabupaten Karangasem, seorang siswa juga sempat dilarang bersekolah karena diketahui terjangkit virus HIV/AIDS. Anak tak berdosa itu harus mendapatkan cemoohan dari teman-teman dan lingkungan yang berujung pada larangan bersekolah.

Stigma negatif dari masyarakat pada penderita HIV/AIDS dari dulu hingga kini memang belum bisa dilepaskan. Masyarakat kerap tidak memandang apakah dia berbuat menyimpang atau tidak. Masyarakat cenderung mengucilkan setiap orang yang terjangkit virus HIV/AIDS.

Koordinator Kelompok Kerja Perencanaan dan Evaluasi Program Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali Prof Dewa Nyoman Wirawan MPH menyampaikan sekelumit realitas di atas yang merupakan pengalaman dirinya ketika mendampingi para penderita HIV/AIDS.

"Kami bersyukur, untuk siswa di Nongan, Karangasem, segera dapat bersekolah lagi setelah kami mengadakan pendampingan dan memberikan penyuluhan kepada warga di sana. Mereka akhirnya mengerti bahwa virus tidak dapat ditularkan hanya melalui komunikasi ataupun bersinggungan," kata Ketua Yayasan Kerti Praja, sebuah yayasan yang fokus menangani korban HIV/AIDS dari tahun 1992 tersebut.
Penyebaran virus HIV/AIDS di Bali sejak 2008 memang memperlihatkan kecenderungan perubahan. Jika pada tahun-tahun sebelumnya penyebaran didominasi melalui media jarum suntik pada pencandu narkoba, maka pada 2008 justru didominasi melalui heteroseksual.

Berdasarkan data kumulatif yang dihimpun Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali dari tahun 1987 hingga September 2011, tercatat 4.833 kasus penderita HIV/AIDS.
Dari jumlah tersebut, 3.573 kasus penularannya melalui heteroseksual, disusul melalui jarum suntik/IDU (778), homoseksual (204), penyebaran yang tidak diketahui sebabnya dengan jelas (141), perinatal (123), dan biseksual (14).

Sedangkan dilihat dari kelompok umur, mayoritas yang terkena HIV/AIDS berusia antara 20-29 tahun sebanyak 2.105 kasus dengan didominasi masyarakat berjenis kelamin laki-laki sejumlah 1.319 kasus. Sisanya sebanyak 786 kasus berjenis kelamin perempuan.

Dari hasil penelitian Prof Wirawan pada tahun 2010, setidaknya 500 orang ibu hamil di Bali diduga terjangkit virus mematikan itu dalam setahun. Hal ini mengacu berdasarkan hasil penelitiannya bahwa setidaknya sebanyak satu persen ibu hamil terkena virus HIV/AIDS dari rata-rata 50 ribu ibu hamil per tahun.

"Pada awal tahun 2000, sempat terjadi lonjakan yang tajam penderita HIV/AIDS dari kelompok pecandu narkoba. Akhirnya kami beserta teman-teman LSM lainnya mengusulkan kepada pemerintah agar para pecandu diberikan jarum suntik. Memang awalnya mendapatkan penentangan karena dinilai melegalkan praktik penyalahgunaan narkoba, namun akhirnya terbukti juga apa yang dilakukan berhasil menurunkan secara signifikan jumlah pengidap HIV/AIDS dan infeksi barunya," kata akademisi di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu.

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr Nyoman Sutedja MPH mengatakan, memang semenjak tiga tahun terakhir telah terjadi perubahan penyebaran virus HIV/AIDS di Bali yang didominasi melalui hubungan seksual antarlawan jenis (heteroseksual).

"Bukan lagi terjadi di komunitas lembaga pemasyarakatan, namun telah merambah hingga ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak," ucapnya.

Penyebabnya tidak terlepas karena kecanggihan teknologi yang semakin memudahkan masyarakat mendapatkan tayangan berbau pornografi sehingga berdampak memacu libido dan meningkatkan perilaku seks bebas.

Di samping itu, ditengarai ada kelompok-kelompok berisiko yang terkena HIV/AIDS sengaja melancarkan aksi balas dendamnya dengan berusaha menularkan virus mematikan tersebut pada lebih banyak orang.

Khusus untuk penekanan penyebaran virus melalui hubungan seksual, kata Prof Wirawan sesungguhnya telah dilakukan upaya edukasi kepada masyarakat maupun kelompok berisiko (pekerja seks komersial/PSK).

"Namun, upaya edukasi yang kami lakukan mentok di kisaran 40 persen. Dalam artian, hanya 40 persen kalangan pelanggan dan PSK yang mau menggunakan kondom saat berhubungan intim," ujarnya. Alasannya klasik, menggunakan kondom dinilai tidak "enak".

Idealnya agar penyebaran HIV/AIDS dapat ditekan melalui hubungan heteroseksual, setidaknya 80 persen dari kelompok berisiko selalu menggunakan kondom saat berhubungan intim.

Menurut Prof Wirawan, karena melalui edukasi mentok di tengah kebandelan mereka yang berisiko, maka sudah seharusnya ada unsur "pemaksaan" dan kerja sama dari pembuat kebijakan (pemerintah) dengan para pemilik industri seks.

"Maksudnya, para pelaku industri seks janganlah dibenci, tetapi agar mereka dirangkul bersama-sama berupaya menekan HIV/AIDS. Salah satunya dengan aturan selalu menggunakan kondom," ucapnya.

Pemerintah daerah diharapkan bisa "memaksa" setiap industri seks agar mematuhi ketentuan tersebut. Dan jika terjadi pelanggaran ada sanksi yang bisa dijatuhkan pada para pengelola industri seks.

Ia mencontohkan kebijakan yang diambil di daerah Salatiga (Jawa Tengah), Banyuwangi dan Malang (Jawa Timur) serta Bintan (Riau), pemerintah daerah "memaksa" semua PSK di daerah itu untuk menolak melayani pelanggan jika tidak menggunakan kondom.

Demikian juga yang diterapkan di Kamboja dan Thailand, pemerintah mau merangkul para pengelola industri seks dalam aturan penggunaan kondom.

"Namun, untuk di Bali sendiri, saya rasa akan terjadi dilema jika pemerintah mengambil kebjiakan semacam itu. Bersahabat dengan para pengelola industri seks walaupun dengan tujuan baik menekan penyebaran HIV/AIDS harus siap-siap menghadapi kebencian dari warga masyarakat," ujarnya.

Jangankan yang jelas-jelas berprofesi seperti itu, ucap dia, untuk penderita HIV/AIDS yang tidak berdosa karena ditularkan pun mendapat stigma negatif dan dikucilkan dari masyarakat.

"Kerja sama tidak mungkin dilakukan jika saling membenci. Namun tantangannya jika langkah itu tidak diambil, bersiap-siaplah menghadapi meroketnya jumlah penderita HIV/AIDS," tegas Prof Wirawan.

Di sisi lain Koordinator Tim Advokasi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali dr Made Molin Yudiasa MARS menyarankan, untuk menekan penyebarluasan virus HIV/AIDS melalui transaksi seksual, maka para karyawan kafe "remang-remang" juga harus rutin diperiksa.

"Kita tidak bisa menutup mata bahwa karyawan kafe remang-remang secara tidak langsung ikut meningkatkan transaksi seksual yang berpotensi menyebarkan virus HIV/AIDS," kata Made Molin.

Menurut dia, pemerintah wajib melakukan pencegahan dengan membuat regulasi bahwa setiap kafe di Bali harus memeriksakan karyawannya secara rutin. Hal ini juga untuk mengetahui indikasi mereka terinfeksi penyakit menular seksual.

"Pihak-pihak terkait harus rutin melakukan pembinaan. Jika ternyata setelah dibina dan diperingatkan tetap membandel, kafe-kafe itu harus ditutup," ucap dr Molin.


Pentingnya Keluarga

Dalam laporan yang disampaikan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Prof dr Tjandra Yoga Aditama, hingga Juni 2011 tercatat Provinsi Bali menduduki posisi kelima dalam jumlah penderita HIV/AIDS.

Untuk posisi pertama hingga keempat berturut-turut diduduki oleh Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Papua. Secara kumulatif jumlah kasus AIDS di Indonesia hingga Juni 2011 dilaporkan sebanyak 26.483 kasus yang tersebar di 33 provinsi dan 300 kabupaten/kota.

Gubernur Bali Made Mangku Pastika menyikapi data mengenai jumlah penderita HIV/AIDS di Bali dan juga di Indonesia menekankan, satu upaya yang penting dilakukan adalah melalui pendidikan dari kecil di lingkungan keluarga.

"Anak-anak seyogyanya sedari kecil sudah diberi tahu betapa berbahayanya kalau kita tidak memperhatikan dan mencintai tubuh sendiri dan pasangan kita. Jika anak-anak tidak pernah diberi tahu pendidikan seperti itu maka mereka tidak akan pernah menyadari betapa bahayanya virus HIV/AIDS," ujar Pastika.

Jadi, tegas Pastika, pendidikan bukan hanya diberikan setelah anak menginjak dewasa.

Senada dengan Gubernur Pastika, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr Nyoman Sutedja MPH mengatakan pentingnya penyadaran masyarakat dimulai dari lingkungan keluarga.

"Orang tua harus peduli dan senantiasa mendampingi proses pendidikan anak-anak, jangan hanya melepas tanggung jawab pendidikan pada pihak sekolah semata. Anak-anak yang kurang mendapat perhatian dari lingkungan keluarga sangat rentan mencari solusi permasalahan dengan melakukan seks bebas," ucap Sutedja.

Ia menambahkan, dengan semakin gencar melakukan sosialisasi dan penyadaran pada masyarakat, secara otomatis fenomena HIV/AIDS yang diibaratkan sebagai gunung es yang ujungnya semula kecil, begitu dikorek-korek akan muncul terus.

"Sebenarnya lebih bagus fenomena gunung es kian terbuka karena kita menjadi tahu siapa orang-orang yang terkena sehingga bisa diterapi dan tidak menularkan kepada orang lain. Namun, sudahkah pemerintah siap dari sisi anggaran pengobatannya," ujarnya mempertanyakan.

Ia menyampaikan, setidaknya untuk pengobatan ARV bagi tiap pengidap HIV/AIDS, setiap minggunya dibutuhkan biaya mencapai Rp800 ribu... !! sumber ANT.

di Publikasikan oleh BASING

Tidak ada komentar:

Posting Komentar